30 September 2025 7:47 pm

Oleh: Miswanto
(Penelaah Buku Panduan Pembelajaran Mendalam untuk Agama Hindu, Puskurjar Kemdikdasmen RI)

Pada laman Kompas.Com yang diterbitkan 24 September 2025, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Abdul Mu’ti menyatakan bahwa pembelajaran mendalam (PM) memperkuat soft skills itu bagaimana mereka (para murid) bisa menjadi pembelajar sepanjang hayat dan kreatif. Menarik untuk mencermati pendapat dari Pak Menteri di atas agar tidak terjadi selap-selip dalam peta jalan pendidikan kita. 

Pasalnya, sering kali ketika ada kebijakan baru terkait dengan dunia pendidikan kita, semua pihak langsung gercep untuk mencari panduan teknis tanpa memahami hal-hal yang filosofis dan sisi historis yang mendasari kebijakan tersebut. Akibatnya peta jalan pendidikan yang sudah terancang secara apik bisa menjadi selip dalam perjalanannya. 

Ibarat orang yang berlayar mengarungi lautan, dia harus memahami dengan baik untuk apa dia berlayar, kemana dia akan bersandar, dan bagaimana dia akan berlayar. Jika dia hanya ingin berlayar saja untuk mengarungi lautan, bisa jadi dia akan terombang-ambing di tengah lautan luas karena perahunya diselimuti kabut dan pikirannya dipenuhi rasa gabut.

Seorang filsuf berkebangsaan Prancis, René Descartes mengatakan cogito ergo sum, sebuah frasa yang sering diartikan ‘aku berpikir, maka aku ada’. Ungkapan ini merangkumkan gagasan bahwa hal yang pasti bisa menunjukkan eksistensi dari seseorang adalah kemampuannya untuk berpikir dan memberikan pemikirannya tersebut kepada dunia di sekitarnya. Bahkan jika indra atau dunia luar menipu, maka pemikirannya itulah yang akan menunjukkan pengetahuan yang pasti. 

Prinsip yang ingin ditunjukkan oleh Descartes tersebut pada dasarnya meyakinkan kepada kita betapa pentingnya “nalar” untuk menakar kadar sebuah keberadaan. Jika kita menunjukkan pemikiran yang (maaf) “tanpa nalar”, maka itu juga akan menjadi bukti seberapa kadar keberadaan kita di mata orang-orang di sekitar kita. Hal ini sebenarnya selaras dengan tokoh pemikir Jawa, Mangkunegaran IV dalam karyanya Serat Wedhatama yang berbunyi:

ꦲꦸꦫꦶꦥꦺ​ꦱꦼꦥꦶꦱꦤ꧀ꦫꦸꦱꦏ꧀꧈

​ꦤꦺꦴꦫ​ꦩꦸꦭꦸꦂ​ꦤꦭꦫꦺ​ꦠꦶꦁ​ꦱꦭꦸꦮꦶꦂ꧈​

ꦏꦢꦶ​ꦠ​ꦒꦸꦮ​ꦏꦁ​ꦱꦶꦫꦸꦁ​꧈​

ꦱꦶꦤꦼꦫꦁ​ꦲꦶꦁ​ꦩꦫꦸꦠ꧈​

ꦒꦸꦩꦉꦁ​ꦒꦼꦁ​ꦲꦁ​ꦒꦺꦫꦺꦁ​ꦲꦁ​ꦒꦸꦁ​ꦒꦸꦩꦿꦸꦁ​ꦒꦸꦁ​꧈

​ꦥꦶꦤ꧀ꦝ​ꦥꦝꦤꦺ​ꦱꦶ​ꦩꦸꦝ꧈

​ꦥꦿꦤ꧀ꦢꦺꦤꦺ​ꦥꦏ꧀ꦱ​ꦏꦸꦩꦏꦶ꧉​​

Uripe sepisan rusak,
Nora mulur nalare ting saluwir,
Kadi ta guwa kang sirung,
Sinerang ing maruta,
Gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung,
Pindha padhane si mudha,
Prandene paksa kumaki.

‘Hidup hanya sekali berantakan. Tidak berkembang dan pikirannya tidak karuan. Ibarat goa gelap yang menyeramkan. Terserang angin, suaranya bising berdengung-dengung. Atau bagaikan keadaan anak mudha (yang picik tanpa pengetahuan). Namun demikian, songongnya minta ampun.’

Apa yang dinasehatkan oleh Mangkunegaran IV di atas banyak dialami oleh orang-orang saat ini. Banyak orang yang pinter baik itu akademisnya, gelarnya berjubel, sekolahnya tinggi, hingga memiliki jabatan yang cukup baik, tetapi kenyataannya nalarnya masih nora mulur dan pating saluwir. Makanya, tidak heran jika Gus Dur sempat mengibaratkannya dengan istilah “anak-anak TK”.

Kenyataan ini semakin membuktikan bahwa hard skill saja tidak cukup untuk bisa menjadi “manusia paripurna”. Soft skill juga sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan segala hard skill yang kita miliki. 

Hard skill adalah keterampilan teknis, terukur, dan dapat dipelajari melalui pendidikan formal atau pelatihan (misalnya bahasa pemrograman atau keahlian keuangan). Sedangkan soft skill adalah keterampilan personal, interpersonal, dan lebih bersifat subjektif-mendalam yang sering kali berkaitan dengan kecerdasan emosional, seperti komunikasi, kerja tim, kemampuan menempatkan diri (empan papan), kemampuan adaptasi, cara bertutur kata, cara bertindak, dan sebagainya. 

Kedua jenis skill ini sebenarnya sama-sama penting, karena hard skill memberikan kemampuan teknis yang dibutuhkan pekerjaan, sementara soft skill membantu seseorang dalam berinteraksi, berkolaborasi, dan berkembang dalam karier. 

Hard skill ini merupakan titik tumpu awal dalam membangun kompetensi yang dapat diukur secara objektif dan diperlukan untuk melakukan tugas-tugas tertentu dalam bidang formal ataupun non formal. Menguasai hard skill bukan berarti menjadi tanda kesuksesan seseorang. Seperti contoh seorang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, IPK dan nilai yang sempurna tidak secara otomatis menjamin kesuksesan seseorang dalam karier atau kehidupan.

Kenyataannya, ketika kita sudah terjun di dunia kerja atau di masyarakat, sering kali kita terbentur pada masalah interaksi sosial, komunikasi, kolaborasi, atau hal-hal lain yang tidak pernah kita pelajari di kampus atau sekolah. Soft skill menjadi poin penting dalam dunia pendidikan, kerja dan kehidupan sehari-hari. Kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik, kerja sama dalam tim, memecahkan masalah, dan beradaptasi merupakan faktor kunci dalam kesuksesan karier dan hubungan interpersonal yang kuat sesama individu.

Saya memiliki seorang teman yang lulus dengan IPK sempurna 4,0. Kemudian dia melanjutkan studi ke sebuah PTN terkemuka di Indonesia dengan predikat cumlaude. Lalu dia diterima menjadi seorang dosen di sebuah PTN di Bali. Namun karena dia tidak bisa beradaptasi di kampusnya, akhirnya ia “dibuang” dan kini menjadi staf biasa. Hidupnya kini selalu dipenuhi dengan menyalahkan tanpa adanya pemikiran untuk berkembang sama sekali. 

Charles Riborg yang merupakan fisikawan dan insinyur, dalam laporannya “A Study of Engineering Education” menuliskan,  85 persen kesuksesan dalam pekerjaan didukung oleh soft skill dan 15 persen selebihnya didukung oleh hard skill. Dengan mengembangkan keseimbangan  antara soft skill dan hard skill, akan membantu mahasiswa menuju kesuksesan dalam hidup, karier, dunia kerja, dan menjadi profesional yang lengkap dan kompeten.

PM yang digagas oleh Menteri Mu’ti sebagaimana dituliskan di atas, sejatinya bisa diarahkan untuk mengembangkan soft skill murid-murid sejak dini. Dengan PM ini, guru bisa menguatkan potensi yang dimiliki oleh anak-anak dengan pengalaman belajar memahami, mengaplikasi, dan merefleksi (3M) serta berpinsip pada 3 hal, yaitu: berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan (BBM).

Dalam lakon “Bima Suci” pada kisah pewayangan Jawa, diceritakan bagaimana Sang Wrekudara akhirnya bisa mencapai puncak pengetahuan atau makrifat sejati setelah menyelam ke dalam Samudra Minangkalbu dan bertemu dengan Dewa Ruci. Dalam perjalanannya, Sang Wrekudara berusaha memahami apa yang diajarkan oleh gurunya dan menerapkannya. 

Misalnya ketika disuruh mencari kayu gung susuhing angin, dia pun pergi hutan-hutan dan gunung-gunung, hingga dia mendapatkan petunjuk dari perjalanannya itu. Dan ketika dia harus masuk ke dasar samudra, dia pun juga melakukannya hingga dia bisa merefleksi diri dan bertemu dengan Dewa Ruci. Dia melakukannya itu dengan penuh kesadaran hingga memberikan manfaat padanya dan bisa menyenangkan hatinya. Esensi dari perjalanan Sang Wrekudara ini tidak beda jauh dengan pengalaman dan prinsip PM di atas. Dia pun harus mengolah raga, cipta, hati, hingga rasa sejati yang ada dalam dirinya. Dan akhirnya dia pun lulus dengan menjadi Begawan Bima Suci. Oleh karena kesalehannya ini Begawan Bima Suci pun bisa membebaskan kedua orang tuanya (Prabu Pandu dan Dewi Madrim) yang ada di Kawah Candradimuka dan mengantarkan mereka ke Sorga.

Dalam lakon ini, Sang Bima Suci tidak mencari hard skill, karena semua ilmu kadigjayan sudah dia peroleh selama di padepokan gurunya. Dia justru ingin mengasah soft skill yang ada dalam dirinya dengan pengalaman belajar, di mana puncaknya adalah merefleksi diri hingga dia menemukan hakikat “Sang Ruci” di dasar samudra hatinya (Samudra Minangkalbu).

Itulah Sang Bima Sena, yang justru bingung ketika semua ilmu (hard skill) dia kuasai. Orang Jawa sering menjarwadhosokkan ilmu itu sebagai “angele nek wis ketemu (sulitnya ketika sudah mencapainya)”. Kesulitannya adalah ketika kita sudah belajar dan lulus, kita harus bisa “lolos” dengan menerapkan ilmu yang kita miliki itu dalam setiap pemikiran, perkataan, dan tindakan kita. 

Dengan soft skill itu, Sang Bima bisa menemukan solusi dari kegundahan hatinya yang selama ini dia rasakan. Soft skill itu pula yang menjadikannya lebih bijak dalam menyikapi segala sesuatu. 

Bagi anak-anak di usia sekolah, soft skill inilah yang akan bisa membuat mereka memahami pengetahuan tidak hanya secara konseptual tetapi juga kontekstual. Mereka tidak hanya menghafal konsep, tetapi memahami hal terkait konsep itu lebih mendetail, menganalisis sesuai konteksnya lebih dalam, hingga dia menemukan hal-hal baru yang membuat mereka bisa lebih bijak dalam melakukan sesuatu sesuai dengan konsep dan konteksnya. 

Dengan soft skill tersebut, para murid setidaknya akan mendapatkan 7 kompetensi utama. Mereka akan bisa berkomunikasi secara baik, beradaptasi dengan setiap perubahan, berpikir kritis untuk memecahkan masalah, bisa berkolaborasi dengan siapa saja, berkreasi untuk menciptakan inovasi-inovasi baru, memiliki kecerdasan digital, dan matang secara emosional. Sama seperti Sang Bima Sena yang awalnya temperamental, setelah menemukan Sang Dewa Ruci dalam dirinya, akhirnya dia menjadi lebih sabar dan tenang hingga akhirnya dia bisa menyelesaikan semua masalah yang dia pendam bertahun-tahun.

Sebenarnya, tidak sulit untuk melihat indikator tumbuh dan tidaknya soft skill dalam diri anak-anak. Misalnya, apakah mereka bisa mengerjakan tugas sesuai dengan waktunya? Apakah mereka care terhadap temannya dan barang-barang yang ada di sekelilingnya? Apakah mereka mau mendengarkan saat ada orang atau guru bicara? Apakah mereka bisa bekerja sama dengan semua teman di kelasnya? Apakah mereka semua melaksanakan 5S dengan baik? Jika beberapa hal ini tidak ada pada anak-anak kita, maka soft skill itu belum tumbuh dengan baik dalam diri mereka.

Oleh karena itu, diharapkan dengan pembelajaran kokurikuler (sebelumnya P5 pada Kurikulum Merdeka) murid-murid bisa mengasah kemampuan soft skill tersebut. Kokurikuler dengan pendekatan PM ini tentu harus lebih banyak diisi dengan kegiatan pembelajaran yang menempa diri anak, tugas projek lintas mata pelajaran yang kontekstual, atau kegiatan-kegiatan lainnya sesuai dengan prinsip BBM dan pengalaman 3M sebagaimana disebutkan di atas.